Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Takkan kupalingkan

Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini daku kan ingat selalu Nestapaku yang terakhir duka yang terdalam Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini kan kulambungkan sanjung-pujaku Terasa diri sirna di mata-Mu Gusti. . . Takkan kupalingkan wajahku. Tengadah dungu dan hampa Aku abu aku debu aku zarrah di ma ta Mu Allahummaghfirli . . . (1969)

Senja yang biru

Angin pun letih. Berhentilah sebentar istirahat Mentari luka. Meleleh di balik senja Biru Burung-burung duka. Menggebu O dukaku, nestapaku datanglah. Segera mendaratlah engkau di sini. Sungai-sungai derita Keluh angin dan senja yang biru Sekilas berdenting lagu mendatar berguling-guling Hilang. Berhenti. Berdentam di balik kenangan Berderap sepatu-sepatu badai. Sangsai Menangis ia. Alam yang biru Pucat. Senja yang biru Siapakah itu yang menari-nari di padang hijau Rumputan seakan menyala. Terbakar mentari yang timbul-tenggelam dalam duka dan tangis Siapakah engkau yang memacu dukaku, meniti sepanjang sisa-sisa cahaya surya? Senja yang biru Biru selamanya Duka. Duka Biru dan Duka (1969)

Di depan-Mu aku sirna mendebu

Di depan-Mu aku sirna mendebu Engkaulah segalanya kekekalan sempurna Di mata-Mu semesta lenyap mengabu Engkaulah yang abadi serba dan maha Semua berasal dari pribadi-Mu sumber segala apa pun Semua kembali ke dalam ruh-Mu inti hakikat maha anggun Kediamanku adalah kediaman-Mu Itulah puisi Keasyikan yang lena terlupa lelap dalam kantuk nikmat Di depan-Mu aku sirna mendebu Berlaksa mimpi berlaksa puisi Diam bertabur hikmah Di depan-Mu aku sirna mendebu Tiada apa pun tiada kata tiada suara tiada rahasia Engkau sendiri aku sendiri (1969) 

Anak kecil

Begitu ia tersenyum seperti tak ada apa pun yang mesti direnung Tak kenal kata basi tak ada yang bisa mati Dan ketika ibunya pergi ia pun menangis sehari-hari Ia tak pernah berpikir tentang nasib dan takdir Ia tak pernah acuh tentang kasih-sayang yang bakal menjauh Bila dibacakan padanya sebuah kitab suci ia pun tak pernah bertanya dalam hati adakah hubungan antara mimpi dan mati hakikat diri arti dan rezeki Bila ia bertanya tentang Tuhan maka sulit buat meyakinkan apa memang harus ada kebenaran dan peperangan ada pula sandang pangan perdamaian dan kesejahteraan Sebab ia pun tak pula pernah mengerti apakah kasih-sayang dan kepalsuan kemiskinan, kesengsaraan dan kejahatan Sedang kita sendiri terlalu sulit memikirkan pusing dan memuakkan sebab semuanya serba meragukan kata di bibir pun hanya mampu disunggingkan Anak kecil terlalu kecil ia buat dunia ini Terlalu kecil ia buat mengerti bahwa lebih baik ia mati daripada kelak ia hidup sendiri dala...

Malam

Aku berjalan terjumpa malam malam adalah jeritan insan Adalah cinta yang bekata kali ini cinta bumi, cinta alam cinta manusia, cinta kesegalaan Mentari pin istirahat lelah sementara bulan terjaga megah tapi merindukan seperti keharuan dala pelukan keindahan Dan bintang-bintang pun menebar jala-jala bagai rerajut mega dan awan menjaring angin lembab dan suara-suara gaib Malam, tumpuan doa dalam bayang dan kenang ramuan dosa dan sajak sumbang Malam ini mimpiku lahir dalam angan sedang Kau membayangkan pribadi kasih-sayang Aku menapak terjumpa malam dalamnya kudengar duka insan Kurasa berlantunan suara kegaiban darinya bertabur resapan jiwa kemanusiaan (1962)

Pertemuan

Mengapa kau mengendap-endap di sana memburu jalanku berkelana? Dialah bayangku yang setia mengekorku dalam dosa dan kenang Dan kini kulihat Tuhan dalam batinku Pertemuan yang tak terpisahkan Tuhan dan bayang bertemu malam-malam Tuhan dan bayang adalah Kau dan aku dalam kasih-sayang Terasa aku kan berkata dan mesti berkata pada-Mu Sajak apa kan kuucapkan sedang lidah dan tanganku semakin fana? Sekali pertemuan ini dan selamanya kan bertemu tanpa akhir perpisahan karna tiada jarak antara kita (1962)

Sebelum tidur

Putarlah knop radio itu Jam sebelas tengah malam begini terlalu sayang dilewatkan hanya untuk mendengarkan berita-berita perang dari stasion-stasion pemancar luar negeri Sebelum tikar, bantal dan sarung selimut kau siapkan buat tidur di lantai yang lembab dengarkanlah barang dua menit sebuah lagu; "Aku kan datang kepadamu wahai dunia lupa dan lelap Aku masuki gelap rahasiamu malam yang panjang berabad-abad Akulah yang dulu pergi mencari arti rahasia abadi Lupakan keluh gangguan mimpi walau terluka nasib sendiri Diamlah engkau, wahai diamlah dengarlah langkahku yang datang Diamlah sejenak, diamlah lelaplah tidur, lupakan perang" (1967)

Doa sebelum tidur

Maafkan saya, Tuhan baru kali ini sempat mengingat-Mu Maafkan saya, Tuhan mungkin besok aku lupa lagi Aku akan tidur mungkin beberapa jam saja Kini terserah pada-Mu nasibku terlena di pangkuan-Mu Aku tak biasa berdoa panjang-panjang Hanya kuminta tolong damaikan dunia selama aku lelap tidur dan terlupa Aku tahu Engkau takkan tidur dan tak kunjung lupa Oleh karena itu sebelum tidur kuminta pada-Mu apa saja yang baik untukku dan untuk siapa saja (Ah, barangkali Kau tertawa Tapi betapa pun maafkan aku) (1967)

Biarkan jendela itu terbuka

Biarkan jendela itu terbuka biarlah Biarkan kebebasan pergantian udara setelah sekian saat ditelan pengap tiada nafas sempat lewat Biarkan jendela itu terbuka biarkan menerima jangkauan jemari mentari pagi hingga kembali dini hari bebas menerima nafas alam siang dan malam Biarkan jendela itu terbuka biarlah Nafas-nafas abadi kan lewat di antara kisi-kisinya tiada lagi suara tangis di celah-celah dindingnya Sebab di sini cuaca dan udara segar bugar terbuka Biarkan jendela itu terbuka biarkan Biarkan seabad berlalu dengan lega biarkan seabad terlena tidur tiada terjaga Biarlah jendela itu tetap terbuka (1969)

Di rumah sakit

Masuklah, hai kau yang di luar yang melongokkan wajah di ambang pintu kamarku Masuklah aku sudah siap Keraguan hanya membekukan waktu saja Begitulah kataku setelah aku sendiri termangu dalam ragu beberapa detik Bergalut dengan waktu membunuh waktu Engkaukah itu yang membawa air kehidupan engkaukah itu penyambung nafas dan detak jantungku? (Bukan aku hanyalah penyambung aliran darahmu Sekedar menggerakkan sel-sel hidup dalam tubuhmu) Aku menant tiada lagi janji (Tiadakah lagi janji?) (1969)

Engkau yang melawat

Aku menunggu sementara engkau pun melawat bersama waktu Musim pun berganti (dan aku masih menanti engkau yang melawat pun sangsi) Tak kutahu kapan aku pulang kembali Tapi adakah ini berarti bayangan mati saat yang tepat mengenal diri-sendiri? Berjuta tangan mencatat berjuta kisah Sekarang, catatlah kisahku; aku bergulat dengan waktu aku bergulat dengan jemu aku melawan aku aku bukan aku. . . Lalu kisahkan perjalanan singkat ini Dulu, saat engkau melawat menikam waktu sementara aku berperang melawan aku (1969)

Menunggu dan pamit

Aku selalu menunggumu sejak dulu. Wahai sang waktu Engkau pun berlalu tanpa setahu sadarku Engkau pun menyeret kakiku dan tanganku yang terlukai ragu Di sinilah tempatnya engkau tahu sejak dulu kutunggu selalu setiap kesempatan untuk bertemu berpapasan kemudian berpamitan Walau kita lahir tanpa kencan tapi kadang kau berikan padaku kesan dan kenangan penghabisan Sudahkah tiba saatnya yang tepat untuk pamit? Engkau diam saja sementara penanggalan pun sobek-sobek juga Dan wakilmu yang setia, arloji itu berhitung-hitung dengan angkuhnya (1969)

Kabut itu

Aku menunggu. Engkau pun menunggu Berjuta detik menjadi waktu Jemu Aku berlari. Engkau berhenti Aku berhenti. Engkau pun berlari Terentang jarak tiada arti Mati Mautkah batas antara kita? (gaibkah ujud dan ada kita?) Kita selalu terlena saja selalu membisu menafsirkan makna cinta Kekal dalam rahasia Kabut itu dan kekelaman itu buanglah dari raut wajahmu (1969)

Kediam-diaman

Aku sedang bersenandung ketika menggeletar Engkau kulihat menari Tanpa kata tanpa suara Kelopak mata-Mu terkatup angan-Mu menggenang. Merayap Dan kutemukan diriku Diam Sendiri Waktu pun berhenti Di atas segalanya adalah kediam-diaman (1969)

Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan?

Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan? Sandiwara akhirnya kan menemukan penyesalannya Bukan di luar rencana. Semua berjalan seperti telah ditetapkan Hampir pasti Tidak selamanya kita kan bersedih bukan? Teringat kenangan lama yang berdebu Kisah yang hampir terlupa hanya secoret tanda-tanda pada angka-angka penanggalan Hampir pudar ( Ah, seperti kemarin saja barusan terjadi ) Tidak selamanya kita kan bersedih, bukan? Sebab hampir selesai  urusan kita. Di sini kita kan melewat, berangkat berkendaraan awan, ruh pun melayang Menemukan bintang ( Dan tidak selamanya kita bakal bersedih ) (1969)

Serasa akulah yang mesti bercerita

Serasa akulah yang mesti bercerita sementara surya mengendap-endap di balik bumi saja Serasa akulah yang mesti bercerita sementara bumi pun resah dalam tidurnya Kau yang bercerita selalu padaku tentang derita, lapar dan duka berceritalah padaku kini tentang alam, manusia dan kasih-sayang Serasa akulah yang mesti bercerita kini padamu walau tanganku fana Setia dalam menulis syair sepanjang malam karna tahu bahwa akhirnya kan berpisah Serasa akulah yang mesti bercerita namun memang aku mau bercerita tentang duka manusia duka ibunda serta dunia dan zamannya Dunia yang kini menapak dari zaman ke zaman membayangkan dalam asap mesiu dan teriak perang Maka kan direbutkan jabat tanganmu kasih-sayang sebab serasa akulah yang mesti bercerita sekarang (1962)

Sebelum engkau terlambat

Barangkali engkau akan menyesal, atau tidak, ketika aku menunggu sampai camar terbang memburu petang. Barangkali engkau lupa ketika aku berangkat duluan tak lagi tahu engkau dimana, sesaat sebelum surya melintas turun di cakrawala. Barangkali engkau tak sempat berlari-lari kecil setelah menuai padi atau berlatih menari, menata batu-batu di jalanan atau menunggu wisatawan. Di Kuta aku termangu, tak tahu adakah kau itu yang bersijingkat di belakangku Angin enggan mengotorkan diri menyapu pasir; pasir sebentar lagi istirahat, menjulurkan ujung tumit ke laut; laut terdiam, berlenggang sebentar, jemu menatap awan; awan sudah lama tersebar memulas langit; langit pun membiarkan matahari terkantuk, terkulai, terlena lalu tergelincir Burung-burung tak lagi sangsi ketika angin tak lagi berhembus; pasir sudah pulas tertidur ketika laut sesekali mendesah lalu terdiam; awan dan langit mendadak hilang, samar-samar di sela sisa cahaya surya ketika aku ragu engkau belum terlihat duduk dekat batu-b...