Langsung ke konten utama

Sebelum engkau terlambat

Barangkali engkau akan menyesal, atau tidak, ketika aku menunggu sampai camar terbang memburu petang. Barangkali engkau lupa ketika aku berangkat duluan tak lagi tahu engkau dimana, sesaat sebelum surya melintas turun di cakrawala. Barangkali engkau tak sempat berlari-lari kecil setelah menuai padi atau berlatih menari, menata batu-batu di jalanan atau menunggu wisatawan. Di Kuta aku termangu, tak tahu adakah kau itu yang bersijingkat di belakangku

Angin enggan mengotorkan diri menyapu pasir; pasir sebentar lagi istirahat, menjulurkan ujung tumit ke laut; laut terdiam, berlenggang sebentar, jemu menatap awan; awan sudah lama tersebar memulas langit; langit pun membiarkan matahari terkantuk, terkulai, terlena lalu tergelincir

Burung-burung tak lagi sangsi ketika angin tak lagi berhembus; pasir sudah pulas tertidur ketika laut sesekali mendesah lalu terdiam; awan dan langit mendadak hilang, samar-samar di sela sisa cahaya surya ketika aku ragu engkau belum terlihat duduk dekat batu-batu kecil di sana itu--seperti biasanya. Ketika itu jalau pun kita berjalan, tiada lagi bayang-bayang. Dan sekarang, aku tahu, engkau terlambat datang

Barangkali engkau akan menyesal. Atau tidak.....

(1976)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takkan kupalingkan

Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini daku kan ingat selalu Nestapaku yang terakhir duka yang terdalam Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini kan kulambungkan sanjung-pujaku Terasa diri sirna di mata-Mu Gusti. . . Takkan kupalingkan wajahku. Tengadah dungu dan hampa Aku abu aku debu aku zarrah di ma ta Mu Allahummaghfirli . . . (1969)

Kabut itu

Aku menunggu. Engkau pun menunggu Berjuta detik menjadi waktu Jemu Aku berlari. Engkau berhenti Aku berhenti. Engkau pun berlari Terentang jarak tiada arti Mati Mautkah batas antara kita? (gaibkah ujud dan ada kita?) Kita selalu terlena saja selalu membisu menafsirkan makna cinta Kekal dalam rahasia Kabut itu dan kekelaman itu buanglah dari raut wajahmu (1969)

Senja yang biru

Angin pun letih. Berhentilah sebentar istirahat Mentari luka. Meleleh di balik senja Biru Burung-burung duka. Menggebu O dukaku, nestapaku datanglah. Segera mendaratlah engkau di sini. Sungai-sungai derita Keluh angin dan senja yang biru Sekilas berdenting lagu mendatar berguling-guling Hilang. Berhenti. Berdentam di balik kenangan Berderap sepatu-sepatu badai. Sangsai Menangis ia. Alam yang biru Pucat. Senja yang biru Siapakah itu yang menari-nari di padang hijau Rumputan seakan menyala. Terbakar mentari yang timbul-tenggelam dalam duka dan tangis Siapakah engkau yang memacu dukaku, meniti sepanjang sisa-sisa cahaya surya? Senja yang biru Biru selamanya Duka. Duka Biru dan Duka (1969)