Langsung ke konten utama

Serasa akulah yang mesti bercerita

Serasa akulah yang mesti bercerita
sementara surya mengendap-endap di balik bumi saja
Serasa akulah yang mesti bercerita
sementara bumi pun resah dalam tidurnya

Kau yang bercerita selalu padaku
tentang derita, lapar dan duka
berceritalah padaku kini
tentang alam, manusia dan kasih-sayang

Serasa akulah yang mesti bercerita
kini padamu walau tanganku fana
Setia dalam menulis syair sepanjang malam
karna tahu bahwa akhirnya kan berpisah

Serasa akulah yang mesti bercerita
namun memang aku mau bercerita
tentang duka manusia
duka ibunda serta dunia dan zamannya

Dunia yang kini menapak dari zaman ke zaman
membayangkan dalam asap mesiu dan teriak perang
Maka kan direbutkan jabat tanganmu kasih-sayang
sebab serasa akulah yang mesti bercerita sekarang

(1962)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takkan kupalingkan

Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini daku kan ingat selalu Nestapaku yang terakhir duka yang terdalam Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini kan kulambungkan sanjung-pujaku Terasa diri sirna di mata-Mu Gusti. . . Takkan kupalingkan wajahku. Tengadah dungu dan hampa Aku abu aku debu aku zarrah di ma ta Mu Allahummaghfirli . . . (1969)

Kabut itu

Aku menunggu. Engkau pun menunggu Berjuta detik menjadi waktu Jemu Aku berlari. Engkau berhenti Aku berhenti. Engkau pun berlari Terentang jarak tiada arti Mati Mautkah batas antara kita? (gaibkah ujud dan ada kita?) Kita selalu terlena saja selalu membisu menafsirkan makna cinta Kekal dalam rahasia Kabut itu dan kekelaman itu buanglah dari raut wajahmu (1969)

Senja yang biru

Angin pun letih. Berhentilah sebentar istirahat Mentari luka. Meleleh di balik senja Biru Burung-burung duka. Menggebu O dukaku, nestapaku datanglah. Segera mendaratlah engkau di sini. Sungai-sungai derita Keluh angin dan senja yang biru Sekilas berdenting lagu mendatar berguling-guling Hilang. Berhenti. Berdentam di balik kenangan Berderap sepatu-sepatu badai. Sangsai Menangis ia. Alam yang biru Pucat. Senja yang biru Siapakah itu yang menari-nari di padang hijau Rumputan seakan menyala. Terbakar mentari yang timbul-tenggelam dalam duka dan tangis Siapakah engkau yang memacu dukaku, meniti sepanjang sisa-sisa cahaya surya? Senja yang biru Biru selamanya Duka. Duka Biru dan Duka (1969)