Langsung ke konten utama

Malam

Aku berjalan terjumpa malam
malam adalah jeritan insan

Adalah cinta yang bekata kali ini
cinta bumi, cinta alam
cinta manusia, cinta kesegalaan

Mentari pin istirahat lelah
sementara bulan terjaga megah
tapi merindukan
seperti keharuan dala pelukan keindahan
Dan bintang-bintang pun menebar jala-jala
bagai rerajut mega dan awan
menjaring angin lembab dan suara-suara gaib

Malam, tumpuan doa dalam bayang dan kenang
ramuan dosa dan sajak sumbang

Malam ini mimpiku lahir dalam angan
sedang Kau membayangkan pribadi kasih-sayang

Aku menapak terjumpa malam
dalamnya kudengar duka insan
Kurasa berlantunan suara kegaiban
darinya bertabur resapan jiwa kemanusiaan
(1962)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takkan kupalingkan

Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini daku kan ingat selalu Nestapaku yang terakhir duka yang terdalam Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini kan kulambungkan sanjung-pujaku Terasa diri sirna di mata-Mu Gusti. . . Takkan kupalingkan wajahku. Tengadah dungu dan hampa Aku abu aku debu aku zarrah di ma ta Mu Allahummaghfirli . . . (1969)

Kabut itu

Aku menunggu. Engkau pun menunggu Berjuta detik menjadi waktu Jemu Aku berlari. Engkau berhenti Aku berhenti. Engkau pun berlari Terentang jarak tiada arti Mati Mautkah batas antara kita? (gaibkah ujud dan ada kita?) Kita selalu terlena saja selalu membisu menafsirkan makna cinta Kekal dalam rahasia Kabut itu dan kekelaman itu buanglah dari raut wajahmu (1969)

Senja yang biru

Angin pun letih. Berhentilah sebentar istirahat Mentari luka. Meleleh di balik senja Biru Burung-burung duka. Menggebu O dukaku, nestapaku datanglah. Segera mendaratlah engkau di sini. Sungai-sungai derita Keluh angin dan senja yang biru Sekilas berdenting lagu mendatar berguling-guling Hilang. Berhenti. Berdentam di balik kenangan Berderap sepatu-sepatu badai. Sangsai Menangis ia. Alam yang biru Pucat. Senja yang biru Siapakah itu yang menari-nari di padang hijau Rumputan seakan menyala. Terbakar mentari yang timbul-tenggelam dalam duka dan tangis Siapakah engkau yang memacu dukaku, meniti sepanjang sisa-sisa cahaya surya? Senja yang biru Biru selamanya Duka. Duka Biru dan Duka (1969)