Langsung ke konten utama

Sebelum tidur

Putarlah knop radio itu
Jam sebelas tengah malam begini
terlalu sayang dilewatkan
hanya untuk mendengarkan berita-berita perang
dari stasion-stasion pemancar
luar negeri

Sebelum tikar, bantal dan sarung selimut
kau siapkan buat tidur
di lantai yang lembab
dengarkanlah barang dua menit
sebuah lagu;
"Aku kan datang kepadamu
wahai dunia lupa dan lelap
Aku masuki gelap rahasiamu
malam yang panjang berabad-abad

Akulah yang dulu pergi
mencari arti rahasia abadi
Lupakan keluh gangguan mimpi
walau terluka nasib sendiri

Diamlah engkau, wahai diamlah
dengarlah langkahku yang datang
Diamlah sejenak, diamlah
lelaplah tidur, lupakan perang"
(1967)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takkan kupalingkan

Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini daku kan ingat selalu Nestapaku yang terakhir duka yang terdalam Takkan kupalingkan wajahku. Hari ini kan kulambungkan sanjung-pujaku Terasa diri sirna di mata-Mu Gusti. . . Takkan kupalingkan wajahku. Tengadah dungu dan hampa Aku abu aku debu aku zarrah di ma ta Mu Allahummaghfirli . . . (1969)

Kabut itu

Aku menunggu. Engkau pun menunggu Berjuta detik menjadi waktu Jemu Aku berlari. Engkau berhenti Aku berhenti. Engkau pun berlari Terentang jarak tiada arti Mati Mautkah batas antara kita? (gaibkah ujud dan ada kita?) Kita selalu terlena saja selalu membisu menafsirkan makna cinta Kekal dalam rahasia Kabut itu dan kekelaman itu buanglah dari raut wajahmu (1969)

Senja yang biru

Angin pun letih. Berhentilah sebentar istirahat Mentari luka. Meleleh di balik senja Biru Burung-burung duka. Menggebu O dukaku, nestapaku datanglah. Segera mendaratlah engkau di sini. Sungai-sungai derita Keluh angin dan senja yang biru Sekilas berdenting lagu mendatar berguling-guling Hilang. Berhenti. Berdentam di balik kenangan Berderap sepatu-sepatu badai. Sangsai Menangis ia. Alam yang biru Pucat. Senja yang biru Siapakah itu yang menari-nari di padang hijau Rumputan seakan menyala. Terbakar mentari yang timbul-tenggelam dalam duka dan tangis Siapakah engkau yang memacu dukaku, meniti sepanjang sisa-sisa cahaya surya? Senja yang biru Biru selamanya Duka. Duka Biru dan Duka (1969)